Minggu, 26 Februari 2017

Some Cases Of The Rises And Falls Of Gigantic Innovative Company

“Buy American”

Slogan yang digunakan oleh senat Amerika ditahun 1980an, negara yang mempromosikan pasar bebas. Disaat bisnis kehilangan daya kompetisi, negara memulai intervensi. Dikala kalang kabut oleh produk Jepang.


Di era setelah perang hingga 1970an, Jepang ketika itu bukanlah Jepang yang kita kenal sekarang ini, negara dengan produk-produk berkualitas. Tapi, Jepang dapat kita bayangkan China dalam beberapa belas tahun belakangan. Lihat latar film Tôkyô monogatari (1953), tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia ditahun yang sama. Produk-produknya terkenal murah namun miskin kualitas. Setelah perang Amerika memberikan bantuan kepada negara-negara korban perang, termasuk industri Jepang, dengan Marshall Plan-nya, bersama dengan ahli statistik W. Edwards Deming. Dari kuantitas menuju kualitas, hingga inovasi. Statistik memiliki peranan penting dalam perkembangan produk Jepang, tercermin dari nama penghargaan tertinggi atas kualitas, Deming Prize. Deming memperkenalkan Total Quality Management dan Management by Objective, yang menjadi bahan ajar dasar bagi mahasiswa Manajemen Unpad :p.
Diawali dengan penjualan, perlahan Jepang memperbaiki kualitas produk. 1968, Triniton, merek televisi yang terkenal akan kualitas gambar, ukurannya yang jauh lebih kecil, dan daya tahannya, menjadi batu loncatan produk berkualitas dari Sony. Setelah sebelumnya Sony mengeluarkan TV transistor portabel pertama didunia TV8-301 ditahun 1960. Menjadi yang pertama, adalah moto pendirian Sony. Di industri otomotif, untuk mobil kita mengenal Toyota Corolla, sepeda motor cukup kita lihat podium MotoGP yang didominasi oleh pabrikan Honda dan Yamaha.
Kini?
Tidak seperti industri otomotif, industri teknologi mulai dihimpit oleh negara-negara yang mengikuti jejak Jepang. Samsung, Huwawei, Folcomm, dst menampakan taji dan merajai dibidangnya masing-masing. Amarika bangkit menjadi terdepan di industri teknologi informasi dipimpin oleh Google, Amazon dan Apple. Perlahan, bidang yang dahulu dirajai oleh Sony mulai tergeser oleh Samsung dengan TV-nya, iPod yang menggantikan WalkMan, hingga tersisa bidang keuangan, optik, dan Playstation.
China dan Samsung ketika diawal kebangkitan, terkenal akan fleksibilitas dalam mengadaptasi perubahan tren. Citra Samsung kini tercoreng dengan “I.E.D”-nya, dimana Galaxy Note 7 sampai harus di recall 2 kali. Konsumen akan terus mengingat ini, namun sebagai perusahan Samsung akan terus tumbuh, mengingat mereka memiliki ratusan anak perusahaan yang tersebar diberbagai bidang, bahkan di industri militer.
Masih ingatkah tentang diagram perbandingan pengorganisasi perusahaan antara perusahan teknologi Amerika: Google, Amazon, Microsoft, Oracle, Facebook dan Apple.  Menjadi sedikit gambaran betapa besarnya perusahan tersebut. Yang menarik perhatian saya adalah Google. Diagram tersebut menunjukan betapa rumitnya hubungan antara organisasi di Google, yang dimana ketika gambar tersebut dibuat sebelum dibentuknya holding company bernama Alphabet dengan domainnya yang menjadi pembincangan publik (dibaca nerd) ketika itu abc.xyz.
Besarnya perusahaan nampaknya menjadi penghambat inovasi, perusahaan besar silicon valey nampaknya menyadari itu dan jalan singkatnya adalah mengakuisisi perusahaan kecil yang menjadi pioneer atau membuatnya menjadi domain publik (opensource) dalam suatu wadah dimana mereka saling bersaing menjadi lokomotif dari wadah tersebut, sehingga semua orang dapat berpartisipasi dan inovasi terus berlanjut.

Indonesia?
Seperti yang saya tekankan diatas tentang dimulai dari kuantitas menuju kualitas, dan pentingnya statistik dalam proses tersebut. Jangan lupa, disiplin. Tanpa disiplin, termasuk disiplinnya kebijakan politik sulit untuk menjadi macan asia.

Bagaimana dengan konsumen Indonesia?
Mindset konsumen Indonesia bisa dibilang “tricky” (dibaca ngehe). Barang lokal kualitas bagus ditawar kayak nawar dikaki lima, tapi buat barang branded berani ngebayar “lebih”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar