Minggu, 17 Mei 2015

Nilai Ujian Nasional

Sorak sorai pesta kelulusan sekolah masih riang terdengar. Setelah Anies Baswedan, menteri pendidikan yang baru, UN tidak lagi menjadi momok yang menakutkan seperti tahun-tahun sebelumnya. Sebelumnya UN menjadi penentu lulus-tidak lulusnya siswa dalam menempuh pendidikan disekolah. Seperti jaring yang menseleksi bagus tidaknya sebuah benda. Banyak siswa yang stres, bahkan ada yang mencoba bunuh diri terkait Ujian Nasional. Bijaknya pemerintah terkait perubahan paradigma UN dirasa tidaklah lengkap tanpa sistem kompensasi terkait dengan nilai rata-rata Ujian Nasional. Nilai rata-rata tiap sekolah masih menjadi momok bagi pimpinan sekolah atau pimpinan daerah masing-masing.
Mari kita anggap sekolah sebagai mesin yang memproduksi siswa lulusan. Mesin itu memproses input berupa calon siswa yang diproses dengan kegiatan belajar-mengajar, outputnya adalah siswa lulusan dengan standar berupa UN. Jadi dalam sekolah ada input, proses, dan output.
Untuk memproduksi siswa unggulan diperlukan tidak hanya sebuah proses yang baik, namun juga input yang baik pula. Pada input ini antar sekolah bersaing, persepsi orang tua terhadap sekolah berperan besar dalam input sekolah. Sekolah yang dikenal berprestasi akan menjadi tujuan utama orang tua menempatkan anaknya, dan begitu seterusnya hingga akhirnya tinggal sekolah sisa, sisihan dari calon siswa yang gagal masuk sekolah prestasi, atau siswa yang orang tuanya tidak mampu menyekolahkan anaknya disekolah prestasi, karena sekolah prestasi terkenal akan mahalnya. Walau pemerintah mewajibkan kepada warga negaranya untuk sekolah 9 tahun, bahkan ada yang 12 tahun. Dan katanya, sekolah itu gratis, nyatanya sekolah prestasi mahal. Karena sekolah prestasi akan menambahkan ini dan itu untuk menunjang ini dan itu, sekali lagi, demi prestasi sekolah. Hey, sepertinya mirip dengan skema kapilis yang kita dengar atau baca dimedia!
Sekolah tidak hanya mendapat pendanaan dari orang tua, tapi juga pemerintah. Bentuknya berbagai macam, tapi sederhananya berupa kompensasi akibat dari prestasi masing-masing sekolah. Salah satu yang menjadi nilai adalah UN. Walau UN tidak menjadi standar kelulusan, tapi masih memiliki nilai prestisius bagi sekolah. UN menjadi patokan mana sekolah top mana sekolah tidak top didaerahnya. UN juga menjadi nilai bagi pemimpin daerah, dibandingkan dengan pemimpin daerah lainnya. Sehingga pimimpin sekolah atau pemimpin daerah dapat bangga atau malu dengan UN ditempatnya. Selain bangga juga senang, karena dapat pendanaan lebih, berupa bantuan, bonus atau apalah yang menjadi kompensasi bagi sekolah prestasi. Disinilah yang menurut saya harus diubah!
Sistem kompensasi dapat menjadi alasan tiap sekolah, didorong pemimpin daerah untuk bertindak apapun agar nilai UN tetap tinggi. Sehingga UN tetap menjadi alasan bagi sekolah meminta tambahan ini dan itu dari orang tua siswa, kembali lagi demi prestasi sekolah.

UN adalah alat kontrol pemerintah yang efisien, walau tidak menggambarkan kondisi sekolah secara keseluruhan. Pemerintah dapat memetakan posisi sekolah, mana sekolah atas, tengah, dan bawah. Namun sistem kompensasi harus diubah. Dimana, sekolah peringkat bawah menjadi sekolah yang diprioritaskan untuk dibenahi, kemudian sekolah atas harus diapresiasi atas prestasinya. Dengan begini kualitas sekolah bawah dapat meningkat, dan sekolah menengah berusaha untuk menjadi sekolah atas. Selamat menikmati pendidikan di Indonesia.

Arya Cahyanto Yacoub
Mahasiswa yang telah menjadi objek percobaan pendidikan selama 17 tahun
Arya.cy25@gmail.com