Sorak sorai pesta kelulusan sekolah masih riang
terdengar. Setelah Anies Baswedan, menteri pendidikan yang baru, UN tidak lagi
menjadi momok yang menakutkan seperti tahun-tahun sebelumnya. Sebelumnya UN
menjadi penentu lulus-tidak lulusnya siswa dalam menempuh pendidikan disekolah.
Seperti jaring yang menseleksi bagus tidaknya sebuah benda. Banyak siswa yang
stres, bahkan ada yang mencoba bunuh diri terkait Ujian Nasional. Bijaknya
pemerintah terkait perubahan paradigma UN dirasa tidaklah lengkap tanpa sistem
kompensasi terkait dengan nilai rata-rata Ujian Nasional. Nilai rata-rata tiap
sekolah masih menjadi momok bagi pimpinan sekolah atau pimpinan daerah
masing-masing.
Mari kita anggap sekolah sebagai mesin yang
memproduksi siswa lulusan. Mesin itu memproses input berupa calon siswa yang
diproses dengan kegiatan belajar-mengajar, outputnya adalah siswa lulusan
dengan standar berupa UN. Jadi dalam sekolah ada input, proses, dan output.
Untuk memproduksi siswa unggulan diperlukan tidak
hanya sebuah proses yang baik, namun juga input yang baik pula. Pada input ini
antar sekolah bersaing, persepsi orang tua terhadap sekolah berperan besar
dalam input sekolah. Sekolah yang dikenal berprestasi akan menjadi tujuan utama
orang tua menempatkan anaknya, dan begitu seterusnya hingga akhirnya tinggal
sekolah sisa, sisihan dari calon siswa yang gagal masuk sekolah prestasi, atau
siswa yang orang tuanya tidak mampu menyekolahkan anaknya disekolah prestasi,
karena sekolah prestasi terkenal akan mahalnya. Walau pemerintah mewajibkan
kepada warga negaranya untuk sekolah 9 tahun, bahkan ada yang 12 tahun. Dan
katanya, sekolah itu gratis, nyatanya sekolah prestasi mahal. Karena sekolah
prestasi akan menambahkan ini dan itu untuk menunjang ini dan itu, sekali lagi,
demi prestasi sekolah. Hey, sepertinya mirip dengan skema kapilis yang kita
dengar atau baca dimedia!
Sekolah tidak hanya mendapat pendanaan dari orang
tua, tapi juga pemerintah. Bentuknya berbagai macam, tapi sederhananya berupa
kompensasi akibat dari prestasi masing-masing sekolah. Salah satu yang menjadi
nilai adalah UN. Walau UN tidak menjadi standar kelulusan, tapi masih memiliki
nilai prestisius bagi sekolah. UN menjadi patokan mana sekolah top mana sekolah
tidak top didaerahnya. UN juga menjadi nilai bagi pemimpin daerah, dibandingkan
dengan pemimpin daerah lainnya. Sehingga pimimpin sekolah atau pemimpin daerah
dapat bangga atau malu dengan UN ditempatnya. Selain bangga juga senang, karena
dapat pendanaan lebih, berupa bantuan, bonus atau apalah yang menjadi
kompensasi bagi sekolah prestasi. Disinilah yang menurut saya harus diubah!
Sistem kompensasi dapat menjadi alasan tiap
sekolah, didorong pemimpin daerah untuk bertindak apapun agar nilai UN tetap
tinggi. Sehingga UN tetap menjadi alasan bagi sekolah meminta tambahan ini dan
itu dari orang tua siswa, kembali lagi demi prestasi sekolah.
UN adalah alat kontrol pemerintah yang efisien,
walau tidak menggambarkan kondisi sekolah secara keseluruhan. Pemerintah dapat
memetakan posisi sekolah, mana sekolah atas, tengah, dan bawah. Namun sistem
kompensasi harus diubah. Dimana, sekolah peringkat bawah menjadi sekolah yang
diprioritaskan untuk dibenahi, kemudian sekolah atas harus diapresiasi atas
prestasinya. Dengan begini kualitas sekolah bawah dapat meningkat, dan sekolah
menengah berusaha untuk menjadi sekolah atas. Selamat menikmati pendidikan di
Indonesia.
Arya Cahyanto Yacoub
Mahasiswa yang telah menjadi objek percobaan pendidikan selama 17 tahun
Arya.cy25@gmail.com