Selasa, 05 September 2017

Manajemen Keuangan UMKM

Hi, sudah lama sekali saya tidak mmenulis di blog ini. Kali ini saya akan menunjukan bagaimana caranya mengelola keuangan bisnis skala kecil (UMKM).

Pengelolaan keuangan usaha akan sedikit membosankan, kenapa? Karena kegiatan bisnis dilakukan setiap hari dan pencatatan akan tampak seperti pengeluaran dan kegiatan yang tidak diperlukan karena tidak mempengaruhi terhadap penjualan atau keuntungan yang didapat setiap harinya. Pikiran bahwa pencatatan merupakan kegiatan sia-sia adalah salah besar, besar atau kecil usaha yang dijalankan, pencatatan adalah hal yang penting dalam bisnis. Saya tidak akan membicarakan tentang pentingnya pencatatan jika ingin mendapatkan kreditor atau investor, tapi untuk perkembangan bisnis anda. Alasannya?
  1. Dengan dicatat anda dapat memantau pendapatan atau pengeluaran yang anda terima. 
  2. Akibat anda memantau pendapatan dan pengeluaran, anda jadi tahu berapa jumlah uang yang anda keluarkan sehingga anda dapat menghitung apakah uang yang anda keluarkan sepadan dengan penerimaan yang anda terima.
  3. Mengelola resiko bisnis, berkaitan dengan poin nomor 2, bahwa kita sadar kalau dalam bisnis terdapat resiko. Jika resiko bisnis tersebut sudah anda kenali dan dapat ditanggulangi, selamat anda tidak perlu ilmu manajemen lagi. Namun adakalanya resiko bisnis tidak dapat diketahui atau ditanggulangi, nah inilah fungsi dari pencatatan. Paling tidak dengan adanya pencatatan, resiko yang sudah terjadi namun belum disadari, mampu anda lihat melalui pencatatan keuangan.
  4. Jika ada resiko tentu ada peluang. Simak bagaimana Robert Crandall menghemat American Airline lebih dari 1 milyar rupiah.
Jadi, buka buku tulis anda mulai mencatat.

Catatan:
Jika ada 5 orang yang membagikan artikel ini melalui media sosial saya akan memberikan tempelate manajemen keuangan, gratis (tentu sertakan bukti melalui kolom komentar dibawah ini)

Minggu, 28 Mei 2017

Promosi Media Youtube


Media alternatif, Youtube, Facebook, & Twitter semakin menarik perhatian perusahaan untuk menanamkan investasinya dalam melakukan branding. Ada 2 iklan yang baru-baru ini menarik perhatian saya, yaitu Good Mood & Keren Kerontang.

 Good Mood berhasil menarik perhatian saya karena mampu memaksimalkan media iklan Youtube dengan sangat baik, yaitu dengan membuat saya menontonnya hingga selesai. Video yang dibuat bukan dengan alur maju, namun mundur. Kejadian luar biasa yang dialami pemeran utama, dikejar-kejar zombie ber-budget minim.



Dari sisi cinematografi dan penyampaian pesan, Good Mood tidak mampu membuatnya dengan baik. Kita tahu warna, bentuk, dan nama produk, namun tidak ada “Action Button”, akunnya pun tidak menampilkan informasi berarti tentang bagaimana konsumen mendapatkan produk tersebut. Yang akhirnya mengharuskan saya meminta petunjuk ke Mbah Gugel (Google). Petunjuk yang diberikan mengantarkan saya ke situs BPOM* dan Bukalapak**. Entah ini merupakan strategi markeeters mereka untuk menciptakan rasa penasaran hingga diburu, seperti awal eskrim Magnum & Maicih. Atau kesalahan dari markeeters dalam memanfaatkan “Action Button”. Saran saya untuk Good Mood untuk tidak lupa membuat “Action Button” pada media promosinya. Dalam videonya, fokus pada akibat bad mood karena tidak meminum Good Mood. dan kepada Suntory agar muncul, sehingga orang-orang akan terpatri merek Suntory.



Keren Kerontang, sekali lagi Ramayana membuat video promosi yang luar biasa, lead marketingnnya dapet banget, #KerenHakSegalaBangsa. Dengan tidak meninggalkan target konsumennya, namun dikemas dengan sangat menarik. Menjadi keren tidak hanya hak orang kaya, namun kelas menengah-kebawah bisa menjadi keren. Model-model yang menjadi peran sangat menangkap segmen pasar Ramayana. Menyentil nasionalisme dengan lead #KerenHakSegalaBangsa. Cinematografi yang unik. Setelah menyasar anak muda & anak kecil dengan promosi sebelumnya, kini Ramayana menamcapkan taji-nya ke generasi X dan late Baby Boomer dengan video gaya 80-an. Ramayana sebagai pemilik lead pun selalu teringat, tidak hanya produk yang ditawarkan. Sungguh, Ramayana mampu memaksimalkan utilitas dari Internet. Standing ovation untuk Ramayana.

 Arya CY

*http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/webreg/EREG301301201600013/02/Minuman-Rasa-Jeruk-.html
 **https://www.bukalapak.com/p/food/minuman/7yjtl1-jual-good-mood-lemon-madu-500ml-3-pcs

Minggu, 26 Februari 2017

Some Cases Of The Rises And Falls Of Gigantic Innovative Company

“Buy American”

Slogan yang digunakan oleh senat Amerika ditahun 1980an, negara yang mempromosikan pasar bebas. Disaat bisnis kehilangan daya kompetisi, negara memulai intervensi. Dikala kalang kabut oleh produk Jepang.


Di era setelah perang hingga 1970an, Jepang ketika itu bukanlah Jepang yang kita kenal sekarang ini, negara dengan produk-produk berkualitas. Tapi, Jepang dapat kita bayangkan China dalam beberapa belas tahun belakangan. Lihat latar film Tôkyô monogatari (1953), tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia ditahun yang sama. Produk-produknya terkenal murah namun miskin kualitas. Setelah perang Amerika memberikan bantuan kepada negara-negara korban perang, termasuk industri Jepang, dengan Marshall Plan-nya, bersama dengan ahli statistik W. Edwards Deming. Dari kuantitas menuju kualitas, hingga inovasi. Statistik memiliki peranan penting dalam perkembangan produk Jepang, tercermin dari nama penghargaan tertinggi atas kualitas, Deming Prize. Deming memperkenalkan Total Quality Management dan Management by Objective, yang menjadi bahan ajar dasar bagi mahasiswa Manajemen Unpad :p.
Diawali dengan penjualan, perlahan Jepang memperbaiki kualitas produk. 1968, Triniton, merek televisi yang terkenal akan kualitas gambar, ukurannya yang jauh lebih kecil, dan daya tahannya, menjadi batu loncatan produk berkualitas dari Sony. Setelah sebelumnya Sony mengeluarkan TV transistor portabel pertama didunia TV8-301 ditahun 1960. Menjadi yang pertama, adalah moto pendirian Sony. Di industri otomotif, untuk mobil kita mengenal Toyota Corolla, sepeda motor cukup kita lihat podium MotoGP yang didominasi oleh pabrikan Honda dan Yamaha.
Kini?
Tidak seperti industri otomotif, industri teknologi mulai dihimpit oleh negara-negara yang mengikuti jejak Jepang. Samsung, Huwawei, Folcomm, dst menampakan taji dan merajai dibidangnya masing-masing. Amarika bangkit menjadi terdepan di industri teknologi informasi dipimpin oleh Google, Amazon dan Apple. Perlahan, bidang yang dahulu dirajai oleh Sony mulai tergeser oleh Samsung dengan TV-nya, iPod yang menggantikan WalkMan, hingga tersisa bidang keuangan, optik, dan Playstation.
China dan Samsung ketika diawal kebangkitan, terkenal akan fleksibilitas dalam mengadaptasi perubahan tren. Citra Samsung kini tercoreng dengan “I.E.D”-nya, dimana Galaxy Note 7 sampai harus di recall 2 kali. Konsumen akan terus mengingat ini, namun sebagai perusahan Samsung akan terus tumbuh, mengingat mereka memiliki ratusan anak perusahaan yang tersebar diberbagai bidang, bahkan di industri militer.
Masih ingatkah tentang diagram perbandingan pengorganisasi perusahaan antara perusahan teknologi Amerika: Google, Amazon, Microsoft, Oracle, Facebook dan Apple.  Menjadi sedikit gambaran betapa besarnya perusahan tersebut. Yang menarik perhatian saya adalah Google. Diagram tersebut menunjukan betapa rumitnya hubungan antara organisasi di Google, yang dimana ketika gambar tersebut dibuat sebelum dibentuknya holding company bernama Alphabet dengan domainnya yang menjadi pembincangan publik (dibaca nerd) ketika itu abc.xyz.
Besarnya perusahaan nampaknya menjadi penghambat inovasi, perusahaan besar silicon valey nampaknya menyadari itu dan jalan singkatnya adalah mengakuisisi perusahaan kecil yang menjadi pioneer atau membuatnya menjadi domain publik (opensource) dalam suatu wadah dimana mereka saling bersaing menjadi lokomotif dari wadah tersebut, sehingga semua orang dapat berpartisipasi dan inovasi terus berlanjut.

Indonesia?
Seperti yang saya tekankan diatas tentang dimulai dari kuantitas menuju kualitas, dan pentingnya statistik dalam proses tersebut. Jangan lupa, disiplin. Tanpa disiplin, termasuk disiplinnya kebijakan politik sulit untuk menjadi macan asia.

Bagaimana dengan konsumen Indonesia?
Mindset konsumen Indonesia bisa dibilang “tricky” (dibaca ngehe). Barang lokal kualitas bagus ditawar kayak nawar dikaki lima, tapi buat barang branded berani ngebayar “lebih”.