Rabu, 15 Mei 2013

Masyarakat Konsumsinisme

"... Jadi wajar Ya, kalo Indonesia tuh, gak maju-maju. Kalah sama barat. Orang-orangnya aja masih mikirin buat makan besok, sedangkan orang barat udah mikir, minggu depan bikin apa..."

Pernyataan ini selalu terngiang-ngiang dibenak, saat kita memesan Indomie goreng + telor + nasi, di warung depan sekolah saat malam hari. Rasa nasionalisme saya tentu bergejolak mendengar pernyataan seperti ini (waktu masih semangat 45). Karena temen ini blasteran (bukan blasteran kamerun) Inggris, jadi saya mengiyakan saja. Setelah diresapi sebentar ternyata memang perkataanya ada benarnya juga. Kita ngobrol waktu 2007 akhir, baru sekarang ada bukti yang membenarkannya.

Beberapa minggu yang lalu saya selesai membaca buku "Rising Middle Class in Indonesia". Kesimpulan saya dari buku, dan referensi lainnya, memang Indonesia tumbuh karena konsumsinya. Kita bangsa omnivora, pelahap segala, tidak peduli apakah yang dikonsumsi itu baik, atau buruk, bermanfaat atau mudharat. Asal produknya kelihatan di tv, kita siap melahapnya. Tidak peduli jika yang perlihatkan di tv adalah sandiwara atau photoshop.

Namun tidak semua masyarakat merespon semua iklan dengan antusias. Contohnya saja iklan kesehatan dari Cina. Marketeer yang memasang iklan sepertinya sudah ketinggalan puluhan tahun. Saat ini masyarakat sudah tidak mempan lagi terhadap iklan bombardir dan bombastis. Resistensi itu ditunjukan dengan membuat parodi-parodi iklan, bahkan caci-maki di internet. Ini adalah bentuk resistensi masyarakat atas iklan yang ditayangkan secara terus-menerus dan terkesan berlebihan untuk sebuah iklan kesehatan, dimana outcome-nya belum tentu sama.

Masyarakat konsumtif menurut saya, sama saja dengan sapi perah. Daun dan rumput yang diambil diladang atau dipinggir jalan, dikumpulkan untuk "disuapi", sehingga petani dapat memerah susu sapi yang harganya jauh lebih mahal dari biaya daun dan rumput. Kita akan terus diberi makan, diberi hutang, diberi hadiah/hibah, karena kita adalah pasar potensial. Untung saja, baru sedikit orang kaya didunia yang sadar. Bagaimana mungkin Indonesia bukan pasar potensial. Dua ratus juta orang! yang ingin mengkonsumsi apa saja, dari yang paling murah, hingga yang paling mahal. Untung saja baru sedikit yang sadar.

Sayang baru sedikit yang sadar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar