“Buy American”
Slogan yang digunakan oleh senat Amerika
ditahun 1980an, negara yang mempromosikan pasar bebas. Disaat bisnis kehilangan
daya kompetisi, negara memulai intervensi. Dikala kalang kabut oleh produk
Jepang.
Di era setelah perang hingga 1970an, Jepang ketika
itu bukanlah Jepang yang kita kenal sekarang ini, negara dengan produk-produk
berkualitas. Tapi, Jepang dapat kita bayangkan China dalam beberapa belas tahun
belakangan. Lihat latar film Tôkyô monogatari (1953), tidak jauh berbeda dengan
kondisi Indonesia ditahun yang sama. Produk-produknya terkenal murah namun
miskin kualitas. Setelah perang Amerika memberikan bantuan kepada negara-negara
korban perang, termasuk industri Jepang, dengan Marshall Plan-nya, bersama
dengan ahli statistik W. Edwards
Deming. Dari kuantitas menuju kualitas, hingga inovasi. Statistik memiliki
peranan penting dalam perkembangan produk Jepang, tercermin dari nama penghargaan
tertinggi atas kualitas, Deming Prize. Deming memperkenalkan Total Quality
Management dan Management by Objective, yang menjadi bahan ajar dasar bagi
mahasiswa Manajemen Unpad :p.
Diawali dengan penjualan, perlahan Jepang
memperbaiki kualitas produk. 1968, Triniton, merek televisi yang terkenal akan
kualitas gambar, ukurannya yang jauh lebih kecil, dan daya tahannya, menjadi
batu loncatan produk berkualitas dari Sony. Setelah sebelumnya Sony
mengeluarkan TV transistor portabel pertama didunia TV8-301 ditahun 1960. Menjadi
yang pertama, adalah moto pendirian Sony. Di industri otomotif, untuk mobil
kita mengenal Toyota Corolla, sepeda motor cukup kita lihat podium MotoGP yang
didominasi oleh pabrikan Honda dan Yamaha.
Kini?
Tidak seperti industri otomotif, industri
teknologi mulai dihimpit oleh negara-negara yang mengikuti jejak Jepang.
Samsung, Huwawei, Folcomm, dst menampakan taji dan merajai dibidangnya
masing-masing. Amarika bangkit menjadi terdepan di industri teknologi informasi
dipimpin oleh Google, Amazon dan Apple. Perlahan, bidang yang dahulu dirajai
oleh Sony mulai tergeser oleh Samsung dengan TV-nya, iPod yang menggantikan
WalkMan, hingga tersisa bidang keuangan, optik, dan Playstation.
China dan Samsung ketika diawal kebangkitan,
terkenal akan fleksibilitas dalam mengadaptasi perubahan tren. Citra Samsung
kini tercoreng dengan “I.E.D”-nya, dimana Galaxy Note 7 sampai harus di recall 2 kali. Konsumen akan terus mengingat
ini, namun sebagai perusahan Samsung akan terus tumbuh, mengingat mereka
memiliki ratusan anak perusahaan yang tersebar diberbagai bidang, bahkan di
industri militer.
Masih ingatkah tentang diagram perbandingan
pengorganisasi perusahaan antara perusahan teknologi Amerika: Google, Amazon,
Microsoft, Oracle, Facebook dan Apple. Menjadi
sedikit gambaran betapa besarnya perusahan tersebut. Yang menarik perhatian
saya adalah Google. Diagram tersebut menunjukan betapa rumitnya hubungan antara
organisasi di Google, yang dimana ketika gambar tersebut dibuat sebelum
dibentuknya holding company bernama Alphabet dengan domainnya yang menjadi
pembincangan publik (dibaca nerd) ketika itu abc.xyz.
Besarnya perusahaan nampaknya menjadi
penghambat inovasi, perusahaan besar silicon valey nampaknya menyadari itu dan
jalan singkatnya adalah mengakuisisi perusahaan kecil yang menjadi pioneer atau
membuatnya menjadi domain publik (opensource) dalam suatu wadah dimana mereka
saling bersaing menjadi lokomotif dari wadah tersebut, sehingga semua orang
dapat berpartisipasi dan inovasi terus berlanjut.
Indonesia?
Seperti yang saya tekankan diatas tentang
dimulai dari kuantitas menuju kualitas, dan pentingnya statistik dalam proses
tersebut. Jangan lupa, disiplin. Tanpa disiplin, termasuk disiplinnya kebijakan
politik sulit untuk menjadi macan asia.
Bagaimana dengan konsumen Indonesia?
Mindset konsumen Indonesia bisa dibilang “tricky”
(dibaca ngehe). Barang lokal kualitas bagus ditawar kayak nawar dikaki lima,
tapi buat barang branded berani ngebayar “lebih”.