Minggu, 16 September 2012

3 Hari Luar Biasa

"ntar aja, masih lama" kalimat yang paling sering meletup didalam hati ketika berbagai macam kerjaan menghadang. Sebenernya minggu lalu sudah dibuat perencanaan. Tugas yang banyak banget diminggu ini dikerjakan pada sabtu-minggu, biarlah waktu santai terpakai. Sayangnya "Manusia berencana, Allah berkehendak lain". Jum'at malam sudah disiapkan jauh-jauh hari buat ngumpul bareng teman sma yang ada di Bandung.

 Sabtu siang, kembali ke kampus untuk menghadiri rapat. Walau sudah dibuat presisi namun tetap saja terlambat 1 jam. Kemudian dilanjutkan rapat, sampai jam 3 sore. Balik ke kosan istirahatlah, akibat 2 hari yang padat, dari malam sampai siang. Daaa~n kemudian listrik mati selama malam minggu. Mumpung ada lilin, kita semua ngerembuk tuh diruang tivi. Saling tukar cerita seram sampai~lampu menyala lagi, sayang yang ada cuma listrik numpang lewat, dan akhirnya kita tidur diruang tv.

Paginya, berdasarkan musyawarah sebelumnya, kita kerja bakti bersama. Rumah dari ujung atas sampai bawah dibersihkan. Pengen ngerjain tugas tapi gak enak sama yang lain. Alhamdulillah, beres kerja bakti listrik nyala. Kegiatan paling nikmat setelah berkeringat adalah tidur, dan saya tidak akan melewatkannya.

Sorenya, laptop sudah dinyalakan. Musik penambah semangat sudah diputar. Word, Excel, dan segala persiapan buat mengerjakan tugas sudah siap. Eh, diluar ada yang teriak, konfirmasi sama temen kontrakan "ada kebakaran". Lihat keluar, asap tebal sudah membumbung. Semua spontan, laptop diitinggal, keluar rumah, melihat kondisi kebakaran. Di TKP api sudah membesar, bahkan dari tempat berdiri yang berbeda gang, api terlihat menjilat-jilat langit, panas terasa dipermukaan kulit. Walau sudah beberapa kali melihat secara langsung kejadian kebakaran, kali ini adalah pengalaman kebakaran yang paling terasa, dekat. Pertama kali datang, masih sedikit orang yang berusaha memadamkan api. Orang-orang sibuk mengamankan harta bendanya masing-masing. Mungkin melihat mereka yang sibuk sendiri dengan kepentingannya seakan mereka adalah orang yang egois, namun bila kita berada pada posisi yang sama, bukankah kita akan melakukan hal yang sama? Saat terjadi musibah, secara naluri kita akan menyelamatkan diri kita dan benda berharga yang kita punya. Jika tidak seperti itu, kita tidak akan mengenal gelar "pahlawan".

Saat membantu memadamkan kebakaran, saya menemukan berbagai sisi manusia. Ada orang yang sibuk menyelematkan harta bendannya. Ada yang hanya bisa menangis meratapi nasib yang sekiranya akan menimpa tempat tinggalnya. Kemudian ada pula orang yang terkejut dengan apa yang terjadi, bingung, sehingga tidak berbuat apa-apa. Namun tidak sedikit orang yang melihat musibah ini sebagai hal yang menarik, menjadikannya sebagai tontonan tanpa melakukan hal yang lain selain, menonton atau update status.

Musibah adalah kejadian luar biasa. Orang-orang biasa tidak siap dengan tindakan maupun keputusan disaat genting. Selain orang-orang pasif tersebut kita sangatlah perlu mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh orang-orang yang mau dan bisa bertindak sesuai dengan yang dibutuhkan. Kepala dingin mampu berfikir jernih, namun tanggap dan sigap terhadap masalah. Kedua kriteria ini dibutuhkan dalam situasi genting nan kritis. Orang-orang pasif yang saya sebutkan tadi, bukannya tidak bisa atau bahkan tidak mau bergerak, mereka bisa bisa bergerak, mereka mau berfikir, namun tidak secepat yang lain. Perlu motor penggerak untuk memberdayakan mereka, dan semua orang pun saling membantu satu sama lain dalam menghadapi musibah. Gotong Royong, inilah kita orang Indonesia, saya bersyukur dapat menikmatinya.

Sebelum magrib api padam. Pemilik rumah sekitar berterimakasih. Tanpa sempat membalas dengan baik mereka kembali menuju sebuah tempat yang nyaman, dan kita menyebutnya dengan rumah, begitu pun dengan saya, walau kali ini statusnya sebagai kontrakan, namun inilah "rumah" untuk beberapa tahun kedepan. Disini, tugas yang menumpuk sudah menghantui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar